Cerita Horror Twitter
Judul : Sang Pejalan Malam
Peulis ; @acep-saep88
Halo, selamat berjumpa kembali di thread dari Acep Saep. Kali ini saya membawakan cerita lama yg di remake. Semoga menghibur…
Pada suatu pagi, di suatu kampung kedatangan seorang mantri yg mana kedatangannya merupakan respon dari pemerintah terhadap keluhan masyarakat kampung tersebut karena tidak adanya puskesmas atau fasilitas kesehatan di sana.
Mantri bernama Andre Sulistio itu akan bekerjat terhitung mulai besok. Ia akan mulai mengemban tugas, mengobati para warga yg sedang sakit dari rumah ke rumah.
Di kampung tersebut memang belum ada bangunan puskesmas maupun yg sejenis. Jadi otomatis Andre harus mendatangi rumah setiap pasien jika ada yg memanggilnya. Terkadang ia juga menerima pasien yg mau datang ke rumah di mana ia menetap.
Tidak jarang Andre harus mendatangi rumah warga tengah malam ketika ada warga yg meneleponnya, memintanya datang untuk mengobati sakitnya. Dengan hanya berjalan kaki, ia pergi menuju rumah pasien yg jaraknya cukup jauh.
Tengah malam gelap gulita itu, dengan cahaya senter menerangi jalan di hadapannya, Andre menyusuri jalan kampung yg berupa tanah itu. Di kejauhan terlihat cahaya lampu dari rumah-rumah di kampung ini.
Di kampung tersebut, jarak antar rumah cukup jauh yaitu sekitar dua puluh meter.
Saat Andre mencapai titik jalur dekat sungai, ia merasa seperti melihat seseorang sedang berjalan melintas di hadapannya. Yg membuatnya terkejut, sosok itu melintas melewati sungai seperti melintas di atas tanah saja.
Andre tertegun di tempat saat menyaksikan hal tersebut. Lama ia memperhatikan sosok seperti seorang laki-laki yg barusan melintasi sungai tersebut.
Namun kemudian Andre segera bergegas meninggalkan tempat tersebut. Ia harus segera tiba di rumah warga yg memanggilnya.
Sesampainya di sana ia disambut oleh beberapa orang warga yg kebetulan sedang berkumpul di rumah pasien.
“Assalamualaikum,” ucap Andre saat mencapai teras rumah panggung berbilik bambu tanpa dicat itu.
“Wa’alaikumsalaam. Pak Mantri, silahkan masuk. Abah Dasri sedang menunggu. Beliau dari tadi mengigau terus. Badannya panas sekali seperti sedang dipanggang,” tukas salah seorang warga yg memakai sarung kotak-kotak serta kemeja berwarna putih agak buram dan mengenakan peci hitam.
“Saya akan langsung memeriksa beliau, ya,” ucap Andre sembari menyalami warga yg lain.
Ia kemudian naik ke atas rumah panggung tersebut. Selanjutnya ia menuju ruang tengah di mana pasien yg bernama Abah Dasri sedang terbaring lemah dan dikelilingi sanak keluarganya.
Seperti yg dikatakan warga yg menyambut Andre, Abah Dasri terus mengigau, menyebut-nyebut sesuatu yg asing.
“Hhhuuhh, hhhuuuhhh.. Tulungan Jang Mahfud. Anjeuna keur nguriling milarian pitulung… Hhhuuuhhhh, hhhuuuhhh…”
(Sunda : Tolongin nak Mahfud. Dirinya sedang berkeliling mencari pertolongan.)
“Sakitnya ini sudah lama, bu?” tanya Andre seraya menatap ke arah seorang wanita berusia setengah abad yg tampaknya adalah istrinya Abah Dasri.
“Baru tadi sore, Pak Mantri. Abis sholat isya, tiba-tiba abah mengeluh demam dan sakit kepala
sebelah. Ibu pikir itu gejala sakit biasa. Sudah ibu kerok, eh sakitnya malah makin parah. Parahnya lagi abah jadi sering mengigau tidak jelas,” tukas Bu Dasri menjelaskan. “Oh, Rahayu. Tolong ambilkan minum buat Pak Mantri. Masa tamu nggak dikasih minum?” ucapnya seraya menoleh ke arah putrinya yg bernama Rahayu itu.
Gadis cantik berusia dua puluh tahunan, yg mengenakan kain batik dan kebaya kuning itu segera menuju ke dapur untuk mengambil air minum.
“Oh, begitu ya, bu? Sebentar ya, bu. Saya akan periksa abah,” ucap Andre kemudian menggunakan stetoskopnya untuk memeriksa denyut nadi maupun jantungnya Abah Dasri.
Ia juga memeriksa tekanan darah pria berusia lebih dari enam puluh tahun itu.
“Karena kondisi abah yg sedemikian lemah, maka mau tidak mau abah harus diinfus agar obat dapat masuk ke tubuh,” kata Andre seraya mengeluarkan sebotol cairan infus.
Sejenak ia melihat ke arah Rahayu yg baru muncul dari dapur seraya membawa kendi dan gelasnya yg juga terbuat dari tanah liat.
“Silahkan diminum airnya, mas. Eh, maaf, Pak Mantri,” ucap Rahayu setengah tergagap.
“Terimakasih, nyai,” tukas Andre seraya tersenyum ke arah Rahayu.
Gadis itu tampak salah tingkah setelah disenyumi seperti demikian oleh Andre.
“Neng Ayu ini belum punya calon, Pak Mantri. Pak Mantri juga, kan? Nah, pasti cocok, nih,” ujar warga yg sebelumnya menyambut Andre yg baru saja masuk ke ruang tengah.
“Mang Dimin ini bicara apa, sih? Jangan aneh-aneh, deh,” sergah Rahayu dengan wajah semu memerah.
“Ehehe, cuma bercanda, neng Ayu. Jadi anggap saja serius, ya,” tukas Mang Dimin seraya duduk di samping Andre. “Jadi abah kudu diinfus?” ucapnya sambil melihat ke Andre.
Andre mengangguk. “Tubuh abah dalam kondisi lemah. Tidak mungkin memberinya obat dalam bentuk pil atau kapsul,” katanya.
Rahayu dan Bu Dasri hanya menatap ke arah Andre yg sedang melakukan pekerjaannya yaitu memasangkan jarum infus ke lengannya Abah Dasri.
Saat ini Abah Dasri sudah tidak lagi mengigau. Namun igauannya sebelumnya sempat menimbulkan tanda tanya bagi siapapun yg mendengarnya.
Tanpa terkecuali Andre yg lantas membicarakan hal tersebut dengan Mang Dimin serta warga lain di teras rumah Abah Dasri.
“Beliau selalu menyebut nama mendiang Pak Mahfud dalam igauannya. Mungkin Pak Mahfud sedang mencoba berkomunikasi dengan kita melalui abah?” tutur Mang Dimin seraya mengisap rokoknya.
“Bukannya Pak Mahfud itu yg rumahnya menjadi tempat saya tinggal, mang? Lalu ke mana gerangan keluarga Pak Mahfud? Kenapa rumahnya ditinggalkan begitu saja?” tanya Andre penasaran.
“Istrinya Pak Mahfud kembali ke rumah orang tuanya pasca meninggalnya Pak Mahfud. Setelah itu ia tidak pernah kembali kemari,” tukas Mang Dimin.
“Mang, ada rumor mengatakan kalau Pak Mahfud tidak benar-benar meninggal. Konon ia masih hidup meski dengan jiwa yg bergentayangan di sekitar kita,” timpal warga yg lain.
“Pak Dodon ini ada-ada saja. Itu kan hanya rumor yg belum bisa dibuktikan kebenarannya,” tukas Mang Dimin.
“Oh, iya, mang. Saat dalam perjalanan kemari, saya melihat seseorang melintasi jalan yg akan saya lewati kemudian melintasi sungai seperti melintasi jalan. Apa mang Dimin dan para bapak pernah melihat yg seperti itu sebelumnya?” kata Andre.
“Sudah sering kalau saya mah, Pak Mantri. Saya berani bertaruh kalau itu adalah Pak Mahfud. Rumor itu bisa jadi benar. Rumor tentang Sang Pejalan Malam bisa jadi bukan hanya sebatas rumor,” tukas Pak Dodon disambut tatapan penasaran dari yg lain.
“Saya juga pernah melihatnya sekali saat sedang di perjalanan pulang dari pengajian malam di kampong sebelah,” timpal Mang Dimin.
“Apa dia tidak berbahaya?” tanya Andre.
“Sepertinya tidak. Sejauh ini ia hanya menampakkan diri. Jangankan mengganggu kita, berpapasan saja tidak. Dia hanya lewat begitu saja,” tukas Pak Dodon.
“Lalu soal rumor Sang Pejalan Malam, itu asalnya dari mana? Dan kenapa bisa ada rumor seperti itu?” tanya Andre penasaran.
Salah seorang warga yg sedari tadi hanya menyimak, melihat ke arah sebelah kirinya tepatnya ke arah kebun pisang yg berada di seberang rumah Abah Dasri.
Ia melihat sesosok gelap di balik rimbunnya pepohonan pisang sedang memperhatikan ke arahnya dan juga yg lain.
“Pak Dodon, Mang Dimin, ada yg memperhatikan kita,” katanya disambut tatapan penasaran rekan-rekannya.
“Maaf, Pak Mantri. Lebih baik kita membicarakan itu nanti saja di siang hari. Sekarang rasanya tidak tepat,” ujar Mang Dimin.
Singkat cerita, setelah berpamitan kepada keluarga Abah Dasri dan para warga yg sedang di sana, Andre pulang ke rumah yg menjadi tempat menetapnya.
Sesampainya di rumah, Andre tidak langsung tidur. Ia membereskan berbagai perlengkapan bertugasnya termasuk memasukkan obat-obatan ke dalam kotak plastik. Sembari melakukan itu, ia mendengar suara seperti seseorang sedang melangkah terburu-buru menuju rumahnya.
Barangkali itu adalah warga yg hendak berobat.
Andre meninggalkan pekerjaannya kemudian menuju pintu depan di mana suara langkah menuju. Saat membuka pintu, didapatinya seorang nenek-nenek yg membawa sebatang tongkat bambu sedang bersiap hendak mengetuk pintu.
“Oh, saya tadinya mau mengetuk pintu. Ternyata Pak Mantri membukakan pintunya. Kebetulan sekali, ya,” ucap nenek itu sambil menatap dingin ke arah Andre.
“Ada yg bisa saya bantu, nek? Nenek sakit apa? Oh, silahkan masuk, nek,” kata Andre seraya mempersilahkan nenek itu masuk.
“Tidak usah. Di sini saja. Nenek datang kemari untuk memberitahu dan menyarankan agar Pak Mantri meninggalkan rumah ini. Sebab, rumah ini seharusnya tidak ditempati lagi,” kata nenek itu membuat Andre terkejut.
“Lho, memangnya kenapa, nek? Apa Pak Kades tidak mendapatkan izin dari pemilik rumah untuk menyediakan rumah ini sebagai tempat saya tinggal?” tanya Andre masih dalam keterkejutannya.
“Bukan begitu, Pak Mantri. Nenek tidak ingin rumah ini menelan korban lagi. Cukup Pak Mahfud yg mengalaminya. Jangan sampai orang lain mengalaminya juga. Rumah ini berdiri di atas kuburan massal korban
korban pembersihan pada era 60-an. Seharusnya Pak Mahfud tidak membangun rumah di sini kalau sudah tahu soal itu,” jelas nenek itu.
“Begitu ya, nek. Baiklah saya akan pindah secepatnya, nek. Mudah-mudahan masih ada rumah yg bisa saya tempati,” tukas Andre.
“Ya sudah. Nenek mau pulang kalau begitu. Oh, iya kalau misalkan Pak Mantri mendengar sesuatu yg aneh yg datang dari arah nenek pergi, jangan coba-coba mendatanginya. Bisa jadi itu akan menjadi malapetaka bagi Pak Mantri juga,” kata nenek tersebut seraya pergi dengan tergesa-gesa
Andre hanya mengerutkan keningnya setelah nenek itu berkata demikian. Ia hanya menatap dengan penasaran ke arah menghilangnya si nenek. Lama ia termangu menatap ke arah kegelapan di mana sosok ringkih itu menghilang.
Andre kemudian kembali ke dalam rumah. Tidak lupa ia mengunci kembali pintu depan. Selanjutnya ia melanjutkan pekerjaannya memasukkan obat-obatan ke dalam kotak-kotak plastik yg nantinya akan ia masukkan ke dalam tas.
Saat ia hendak memasukkan strip terakhir obat ke dalam kotak, tiba-tiba terdengar suara janggal yg cukup nyaring dari arah timur laut.
“Grrrrrooooaaaaarrrhhhh…!”
“Hhhuuuuu!”
Suara terakhir sepertinya adalah suara si nenek. Apa yg sebenarnya sedang terjadi terhadap nenek yg beberapa waktu lalu mendatangi Andre?
Awalnya Andre hendak keluar menyusul nenek tersebut. Namun ia urung melakukannya saat teringat kata-kata nenek itu tepat sebelum pergi.
Nenek itu telah berpesan agar Andre tidak coba-coba datang ke tempat di mana suara-suara janggal itu berasal. Meskipun merasa sangat penasaran, Andre menahan diri untuk tidak mendatangi lokasi suara-suara itu.
Keesokan harinya kemudian, Andre baru mendapatkan kabar yg sangat menggemparkan dari beberapa orang warga yg datang ke rumahnya untuk berobat.
“Nenek Supi ditemukan sdh menjadi mayat yg sukar dikenali, Pak Mantri. Wajahnya habis seperti bekas diterkam harimau.
Tapi anehnya tubuh Nenek Supi berlumuran lumpur yg mana lumpur itu seolah berasal dari sosok yg menerkamnya. Apa harimau suka berkubang, Pak Mantri?” kata warga itu setelah selesai memeriksakan kesehatannya.
Andre menggedikkan bahunya. “Mungkin saja, pak,” tukas Andre.
“Itu bukan harimau, Pak Atang. Saya melihat jejaknya seperti jejak kaki manusia tapi lebih panjang. Juga jejak kakinya ada dua pasang. Sepasang seperti tapak tangan manusia, sepasang lagi seperti tapak kaki manusia. Artinya makhluk ini berjalan dengan empat kaki, dan kasus ini baru terjadi lagi setelah sekian lama,” timpal warga lain yg turut datang bersama Pak Atang.
“Jadi kasus serupa pernah terjadi? Di kampung ini, Pak Danang?” tanya Andre penasaran.
“Benar, Pak Mantri. Korbannya dulu adalah seorang perempuan muda yg masih berkerabat dengan Nenek Supi,” tukas Pak Danang.
“Apa itu ada hubungannya dengan rumor sang pejalan malam?” ucap Andre disambut tatapan penuh selidik dari Pak Danang dan Pak Atang.
“Saya tidak tahu karena selama ini belum menemukan bukti korelasi antara keduanya,” tukas Pak Danang.
“Pak Mantri bertanya begitu karena pernah melihat sosok yg suka melintasi jalan itu, ya?” tanya Pak Atang.
“Benar, pak. Saya melihatnya semalam saat hendak ke rumah Abah Dasri,” tukas Andre.
“Ke rumah Abah Dasri? Jauh sekali, Pak Mantri. Aah, pasti karena Neng Ayu, ya?” ucap Pak Danang membuat Andre menepuk kening.
“Tentu saja bukan, pak. Semalam Abah Dasri sakit. Jadi saya diminta tolong untuk mengobati beliau,” bantah Andre.
“Oh, kirain,” ucap Pak Danang.
Saat menjelang siang, Andre berangkat untuk berkeliling dari rumah ke rumah untuk memastikan apakah ada warga yg membutuhkan pengobatan. Ia sempat mampir ke beberapa rumah saat pemiliknya membutuhkan obat.
Di salah satu rumah warga yg di depannya terdapat sebuah pos ronda dengan beberapa orang anak muda sedang bermain gitar dan bernyanyi.
seperti apa liriknya,” tukas pemuda yg tadinya sedang menyanyi.
“Tapi kamu merusak lagu orang. Entar kena tuntutan hukum, lho,” kata pemuda yg dipanggil ‘do’ atau nama lengkapnya Asdo.
“Ya elah, kan nggak dikomersilkan, do. Hidup itu dibawa santai aja. Kalau dibawa serius terus bisa stres,” kata pemuda rekannya Asdo itu.
“Do, Ren, lihat tuh. Cakepnya,” kata pemuda lainnya saat melihat seorang perempuan berjilbab merah dengan pakaiannya berupa gamis yg begitu menutup seluruh tubuhnya.
“Iya, doi emang cakep. Tapi doi bukan tipe saya. Lagipula doi ketuaan buat saya,” tukas pemuda bernama Oren itu.
“Kira-kira umurnya berapa, ya?” gumam Asdo seraya memperhatikan perempuan yg kini tengah menuju rumah di mana Andre sedang memilah obat untuk warga yg sedang berobat.
“Dua puluh tiga?” tukas Oren. “Menurutmu berapa, din?” lanjutnya kepada temannya yg bernama Adin.
“Berapapun, yg jelas dia lebih tua daripada saya,” tukas Adin yg enggan menebak.
Sementara itu, Andre yg sedang memberikan obat berikut resepnya kepada pemilik rumah, terlihat menyalami perempuan cantik yg baru tiba itu.
“Eh, Neng Sarnah. Mau ambil gamisnya, ya?” ucap pemilik rumah yg merupakan seorang laki² berpakaian santai serta berkopiah hitam. Perempuan itu mengangguk seraya tersenyum.
“Ini Pak Mantri yg kemarin baru tiba, ya? Syukur alhamdulillah akhirnya di kampung kami ada mantri,” ucap perempuan bernama Sarnah itu seraya menatap ke arah Andre.
“Iya benar, mbak. Saya sudah mendengar kalau warga di kampung ini susah sekali mendapatkan akses kesehatan. Untuk berobat, warga harus pergi ke kecamatan, dan itu sangat jauh. Padahal akses kesehatan sangatlah penting. Saya sangat menyayangkan di sini tidak ada puskesmas sama sekali,” tukas Andre sembari menatap ke arah barisan strip obat di dalam kotak yg sedang ia pegang.
Sementara Sarnah menatapnya seperti sedang mencoba menghafal bagaimana rupa laki-laki yg merupakan mantri desa itu.
“Oh, maaf. Saya lupa memperkenalkan nama saya sendiri. Saya Andre. Mbaknya pasti mbak Sarnah, kan? Saya barusan mencuri dengar dari Pak Kholil,” ucap Andre seraya menengok ke arah Pak Kholil atau tuan rumah yg baru tiba sambil membawa pakaian yg telah dilipat rapi di dalam kantong plastik putih.
Sarnah tersenyum hingga menampilkan lesung pipit di pipi sebelah kirinya sehingga menambah kesan manisnya.
“Ini, neng. Harganya sepuluh ribu saja,” ucap Pak Kholil sambil menyerahkan bawaannya kepada Sarnah.
“Ini, pak. Terimakasih ya sudah menjahitkan gamis saya,” ucap Sarnah sambil memberikan selembar uang kertas dengan nominal sepuluh ribu rupiah kepada Pak Kholil.
“Sama-sama, neng. Terimakasih kembali,” tukas Pak Kholil.
“Kalau begitu saya pulang dulu ya, Pak Kholil, Pak Andre. Sampai ketemu lagi khususnya buat Pak
Andre,” ucap Sarnah seraya menggerlingkan matanya ke arah Andre.
“Oh, iya. Silahkan, mbak. Hati-hati di jalan,” tukas Andre.
“Iya, benar. Hati-hati di jalan. Kalau jatuh, bangun sendiri, ya,” timpal Pak Kholil.
Saat sore menjelang, Andre telah selesai berkeliling kampung. Ia pun memutuskan untuk pulang.
Namun ada hal yg terlupa begitu saja olehnya, yaitu menemui Pak Kades untuk mengutarakan niatnya pindah dari rumah yg saat ini menjadi tempat menetapnya. Ia baru ingat saat telah berada di dalam rumah dan hari telah gelap ditambah lagi listrik di sana padam.
“Aduh, mati lampu. Mana senter lupa di charges,” keluh Andre saat mengecek lampu senter satu-satunya yg kini cahayanya begitu redup. “Mana nggak bisa menelepon Pak Kades. Sinyalnya hilang,” lanjutnya seraya duduk di kursi yg berada di ruang tengah.
Sayup-sayup ia mendengar suara seperti pintu berderit. Ia merasa heran padahal semua pintu telah ia tutup dan ia kunci.
Andre pun memeriksa semua pintu dengan bantuan pencahayaan yg seadanya. Saat tiba di pintu dapur, ia melihat seperti ada sesuatu yg sedang mencoba mendorong pintu dari luar yg terlihat dari sela-sela bilik bambu yg agak jarang.
“Siapa itu di sana?” ucap Andre memberanikan diri.
Namun ia tidak berani membuka pintu tersebut karena khawatir sesuatu tersebut bisa jadi adalah binatang buas.
“Hrrrrrr…..”
Terdengar suara seperti dengkuran mirip dengkuran babi yg dipastikan adalah babi hutan mengingat di kampung ini tidak ada yg beternak babi. Tentu saja Andre memilih untuk menjauh karena babi hutan bisa saja menyerangnya jika ia membukakan pintu.
Mendadak dari kejauhan terdengar suara kentongan yg dipukul berulang-ulang dengan tempo yg cepat. Sepertinya di sana sedang terjadi kegemparan yg entah disebabkan oleh apa.
Andre sebenarnya sangat ingin keluar untuk pergi menuju asal suara kentongan tersebut. Namun ia menahan keinginannya itu karena tiadanya alat penerangan yg bisa ia gunakan untuk menembus kegelapan malam.
Ia hanya bisa mengintip melalui kaca jendela depan yg kebetulan mengarah ke
arah sumber suara. Ia sangat terkejut dan penasaran saat melihat cahaya terang yg bisa dipastikan berasal dari kobaran api. “Kebakaran?” gumamnya kemudian segera menyambar tas yg berisi obat-obatan kemudian menggendongnya.
Selanjutnya ia keluar dari rumah kemudian pergi ke
arah lokasi kobaran api setelah mengunci pintu terlebih dahulu. Setengah berlari ia menuju lokasi itu dengan mengandalkan cahaya dari kobaran api yg semakin terlihat jelas.
Sesampainya di sana ia melihat banyak warga yg berkumpul. Sebagian di antaranya sedang berjibaku memadamkan api dari rumah yg sedang mengalami kebakaran.
“Lho, ini kan rumah Pak Kholil,” ucap Andre terkejut.
Selanjutnya ia menghampiri para warga dan menanyakan bagaimana kondisi si pemilik rumah.
“Hilang, Pak Mantri,” kata salah seorang warga membuat Andre heran.
“Hilang? Maksud ibu?” Andre menatap perempuan setengah baya itu.
“Ia tidak ada di dalam rumah maupun di luar rumah saat terjadi kebakaran. Semua orang telah mencarinya tapi nihil,” tukas ibu itu.
“Ke mana gerangan Pak Kholil?” gumam Andre. “Padahal tadi siang saya sempat mengobrol dengannya. Ia menyebut-nyebut soal rumah yg saya tempati itu. Ia menyarankan saya untuk pindah tapi saya malah lupa untuk membicarakannya dengan Pak Kades,” lanjutnya.
“Apa? Oh, tidak,” tukas ibu itu seraya pergi dengan tergesa-gesa.
“Bu? Ibu mau ke mana?” Andre berusaha mengejar ibu tersebut.
Andre mengurungkan langkahnya saat ibu itu menghilang di balik kegelapan. Ia hanya termangu hingga kemudian seseorang menepuk pundaknya. “Pak Andre? Apa Pak Kholil sudah ditemukan, pak?” ucap orang yg baru menepuk pundaknya yg ternyata adalah Sarnah.
Andre menoleh ke arah gadis itu kemudian menatapnya lekat. Saat itu gadis tersebut mengenakan piyama berwarna biru muda serta mengenakan kerudung tali berwarna cokelat.
“Belum, mbak Sarnah. Pak Kholil belum juga ditemukan. Beliau masih belum diketahui keberadaannya,” tukas Andre kemudian. “Mbak Sarnah nggak bisa tidur ya karena kebakaran rumah ini?” ucapnya.
Sarnah tersenyum kemudian berjalan ke arah pos ronda di mana saat itu ramai oleh warga yg berkumpul.
“Selamat malam, neng Sarnah. Belum tidur, nih?” ucap seorang warga yg sedang berada di sana.
“Iya nih, mang Udin. Sarnah susah sekali tidur. Apalagi rumah Pak Kholil kebakaran. Jadi kepikiran saya nanti mau mengobras gamis bagaimana,” tukas Sarnah seraya menoleh ke arah Andre yg datang ke arahnya.
“Saya juga, neng. Apalagi tadi abis angkutin air sampe pegel pundak mamang,” tukas Mang Udin. “Pak Mantri, kebetulan di sini. Tadi Pak Udhan menitipkan pesan kalau saya bertemu Pak Mantri, katanya tolong disuruh ke rumahnya. Beliau sedang butuh obat,” katanya ke Andre.
“Saya akan segera ke sana, mang. Kebetulan saya membawa obat-obatannya. Tapi apakah saya boleh meminjam senter mamang? Senter saya mati. Juga jarak ke rumah Pak Udhan cukup jauh. Dekat rumah Abah Dasri, kan?” tukas Andre.
“Waduh, maaf Pak Mantri. Bukannya tidak mau meminjamkan. Saya habis ini mau ke Desa Kayujati sama Pak Danang. Pastinya harus bawa senter karena jalanannya gelap,” kata Mang Udin sambil menatap Andre. “Oh, begitu, mang.
Ya, sudah saya akan membuat obor darurat saja. Saya akan mengumpulkan daun kelapa kering untuk dibuat obor,” tukas Andre seraya menghampiri sebatang pelepah kelapa yg telah jatuh dari pohonnya. Sementara Sarnah tampak memperhatikan apa yg dilakukan Andre. Ia bersidekap kemudian berlalu pergi meninggalkan tempat itu.
Mang Udin memperhatikan ke mana arah gadis itu pergi. “Pak Mantri, saya ada koreknya. Bawa saja. Siapa tahu di jalan dibutuhkan,” ucapnya saat menghampiri Andre.
Andre menoleh ke arah Mang Udin. “Terimakasih, mang. Ini akan sangat membantu,” ucapnya setelah mendapatkan korek gas dari Mang Udin.
Beberapa lama kemudian Andre telah berada di jalur sebelumnya saat ia hendak ke rumah Abah Dasri. Ia kembali melewati jalur pinggir sungai itu.
Cahaya dari obor daun kelapa kering yg dibawanya menerangi tempat tersebut. Suara gemerisik air sungai diiringi suara nyanyian binatang malam terdengar syahdu di malam itu.
Saat mencapai salah satu sudut jalan di mana terdapat semak-semak serta rerumputan tinggi, ia mendengar suara rintihan di baliknya.
“Pak Mantri, tolong saya. Saya tersiksa sekarang.”
Andre terperanjat saat rintihan dari seseorang yg adalah laki-laki memanggil dirinya.
“Siapa di sana?” Andre mendekat ke arah semak-semak itu dengan obornya yg menerangi area tersebut.
Andre terkejut saat melihat siapa yg tengah telentang di atas tanah di antara rerumputan dengan sebelah tangannya bertumpu menahan badannya.
“Pak Kholil? Kenapa bapak bisa ada di sini? Apa yg telah terjadi, pak?” Andre lantas mencoba membantu Pak Kholil bangun.
Namun pria itu menolak.
“Biarkan saya di sini, Pak Mantri. Jangan mendekat! Dia di sini. Dia akan memakan saya!” kata Pak Kholil dengan kedua matanya yg menyiratkan ketakutan.
“Dia siapa, Pak Kholil? Memakan anda?” Andre terperangah mendengar kata-kata Pak Kholil tersebut.
Mendadak dari arah belakang Pak Kholil muncul sesosok makhluk asing seperti seorang perempuan berambut panjang serta telanjang dengan sekujur tubuhnya berlumuran lumpur. Makhluk tersebut seukuran dengan manusia dan berjalan dengan empat kaki yg merupakan gabungan dari sepasang kaki dan sepasang tangan.
Wajah makhluk tersebut sangat mengerikan. Ia menyeringai ke arah Andre sembari kedua tangan atau kaki depannya bersiap mencengkeram bahu Pak Kholil.
“Pak Kholil? Lari, pak! Lari!” pekik Andre dengan panik dengan nafasnya yg memburu naik-turun.
Pak Kholil menggeleng. Dengan wajah diliputi ketegangan bercampur pasrah, ia menatap ke arah Andre.
“Katakan pada para warga, saya meminta maaf….”
Setelah berkata demikian, tubuh Pak Kholil disambar oleh makhluk tersebut kemudian dibawa lari ke dalam kegelapan di belakangnya.
“Pak Kholiiiiiil…….!” Andre berteriak panjang saat melihat kejadian yg terjadi di depan matanya tersebut.
Andre kemudian pontang-panting berlari ke arah kampung yg sebentar lagi ia capai. Ia pun akhirnya tiba di rumah pertama di kampung itu yaitu rumahnya Abah Dasri. “Assalamualaikum. Abah Dasri, Bu Dasri, ada di rumahkah?” ucap Andre dengan panik.
“Wa’alaikumsalaam. Sebentar, ada kok,” sahut seseorang dari dalam yg rupanya adalah Bu Dasri. Wanita itu terlihat keluar dari dalam rumah dengan tergopoh menyambut Andre. “Lho, Pak Mantri? Ibu sama Abah tidak memanggil Pak Mantri, lho,” kata Bu Dasri seraya menatap heran ke arah Andre.
“Saya sebetulnya
hanya butuh ketemu Mang Dimin. Kalau Abah kan masih sakit. Ada yg harus saya kabarkan ke Mang Dimin juga ke warga sini,” tukas Andre seraya terengah-engah.
Bu Dasri mengerutkan keningnya sembari menatap ke arah Andre dengan heran.
“Pak Mantri sebaiknya duduk dulu. Mang Dimin
sedang ke Desa Kayujati, Pak Mantri. Ada perlu katanya. Memangnya kabar soal apa, Pak Mantri?” kata Bu Dasri penasaran.
“Ini soal Pak Kholil, bu,” tukas Andre kemudian menceritakan kejadian yg baru saja dialaminya.
Bu Dasri terlihat mengerutkan keningnya setelah mendengar penjelasan Andre.
“Demit Rawa yg melakukannya, Pak Mantri. Makhluk itu hanya menargetkan seseorang yg meminta orang yg tinggal di rumah tersebut untuk pindah.
Demit Rawa merasa orang itu akan membuat calon Sang Pejalan Malam akan gagal menjadi entitas tersebut,” tutur Bu Dasri membuat Andre terkejut.
“Apa? Demit Rawa?” Andre terperangah mendengar penjelasan Bu Dasri.
“Benar, Pak Mantri. Nama makhluk itu adalah Demit Rawa. Konon ia adalah tangan kanan Sangkasena, demit yg suka mencari korban untuk dijadikannya Pejalan Malam,” tutur Bu Dasri.
“Bu, ibu, suruh nak mantri masuk. Jangan dibiarkan di luar begitu. Bisa masuk angin, lho,” seru Abah Dasri dari dalam rumah.
“Iya, Pak Mantri sebaiknya masuk. Di luar udara sangat dingin. Apalagi sekarang ini lagi musim penyakit menular,” kata Bu Dasri mempersilahkan Andre untuk masuk ke dalam rumah.
“Tidak usah, Abah, ibu. Saya juga harus ke rumah Pak Udhan. Beliau ingin berobat,” tukas Andre seraya melihat ke arah Rahayu yg muncul dari balik pintu depan yg mengarah ke teras sambil membawa gelas berisi air minum.
“Pak Mantri minum dulu, ya. Ke rumah Pak Udhan-nya nanti saja setelah minum,” ujar Rahayu seraya menaruh gelas berisi air minum tersebut.
“Pak Udhan katanya sudah ke dukun, Pak Mantri. Biasalah di kampung sini mah rata-rata warga yg sakit berobatnya ke dukun. Mau ke puskesmas kan jauh. Sekarang saja meski sudah ada Pak Mantri, masih saja ada yg berobat ke dukun,” tutur Bu Dasri.
“Tidak apa, bu. Saya akan tetap ke sana dan kalau memang dibutuhkan, saya akan mencoba mengobati beliau,” tukas Andre sambil melirik ke arah Rahayu yg duduk di sampingnya. “Oh, iya, bu. Soal Demit Rawa itu, apakah makhluk itu datang dari rawa-rawa atau bagaimana?” ucapnya masih penasaran.
“Ada rawa-rawa di sebelah selatan desa ini, nak mantri. Namanya adalah Rawa Gaib. Tempat itu menjadi rawa-rawa karena menjadi tempat pertemuan dua sungai. Karena datarannya rendah maka air dari kedua sungai itu menggenanginya hingga membuatnya menjadi rawa-rawa yg cukup luas.
Ada sepuluh hektaran, nak mantri.” Itu adalah Abah Dasri yg menjelaskan dari dalam rumah.
“Kenapa bisa disebut Rawa Gaib, abah?” tanya Andre.
“Konon Rawa Gaib memiliki semacam portal gaib yg bisa mengantarkan kita ke alam gaib. Itu menurut mitos, ya. Abah nggak tahu benar tidaknya. Soal makhluk itu, benar itu adalah anak buahnya Sangkasena. Ia hidup di Rawa Gaib, di kedalaman lumpur rawa tersebut. Tugasnya adalah untuk memastikan siapapun yg tinggal di rumah yg berdiri di atas tanah kuburan massal itu tidak pindah dari sana. Sosok Demit Rawa ini juga sering melakukan penyerangan terhadap orang-orang yg dianggapnya bisa mengganggu ambisi Sangkasena, yaitu menjadikan banyak orang menjadi Pejalan Malam,” papar Abah Dasri.
“Jadi kasus Nenek Supi dan Pak Kholil adalah karena hal itu? Mereka berdua yg mengingatkan saya agar segera pindah dari rumah itu. Kalau saya tidak segera pindah, saya bisa menjadi Pejalan Malam berikutnya,” kata Andre dengan pikiran menerawang.
“Ini adalah kesalahan dari awal kenapa Pak Kades malah menempatkan Pak Mantri di rumah itu. Tidak heran, sih. Pak Kades itu tidak terlalu mempercayai hal-hal di luar nalar. Ia lebih percaya dengan rasionalisme. Ia tidak mempercayai hal-hal bersifat takhayul,” kata Abah Dasri.
“Semua sudah terjadi, abah. Apapun yg akan terjadi, saya akan menghadapinya. Tentu saja saya juga akan mencari solusi dari masalah ini. Tidak ada masalah yg kekal, bukan?” tukas Andre kemudian.
Setelah agak lama berbincang di rumah Abah Dasri, Andre pun pamit untuk pergi ke rumah Pak Udhan.
Sesampainya di rumah Pak Udhan, Andre memeriksa kesehatan Pak Udhan maupun keluarganya yg katanya juga sedang sakit
“Kami sekeluarga mengalami sakit yg tidak biasa. Ada demam, flu, sakit kepala, dan kadang batuk sampai muntah-muntah,” ujar Pak Udhan.
“Apa ada keluhan lain seperti mata berkunang-kunang atau misalnya hilangnya penciuman?” tanya Andre disambut gelengan kepala Pak Udhan.
Andre memberikan obat beserta resepnya kepada Pak Udhan dan keluarga. Setelah itu ia merasa sudah waktunya pulang.
“Pak Mantri sebaiknya menginap saja. Sudah jam 12 lewat. Bahaya pergi malam-malam sendirian. Demit Rawa bisa saja menemukan Pak Mantri,” kata Pak Udhan.
“Saya sudah bertemu dengannya, pak. Ia membawa Pak Kholil entah ke mana,” ucap Andre disambut tatapan penasaran Pak Udhan.
“Lagi-lagi kerabatnya Nyai Aspi. Kenapa selalu mereka yg menjadi korban, ya?” gumam Pak Udhan.
“Kerabatnya Nenek Supi, pak?” tanya Andre.
“Benar, Nyai Aspi adalah kerabatnya Nenek Supi juga kerabatnya Pak Kholil. Mereka bertiga adalah yg paling getol meminta orang yg tinggal di atas tanah itu agar pindah. Alasan mitos yg membuat mereka getol seperti itu,” kata Pak Udhan. “Kalau saya sih tidak percaya kalau orang yg tinggal di rumah yg didirikan di atas tanah itu akan menjadi entitas yg disebut sebagai Pejalan Malam,” lanjutnya.
“Kalau Pak Mahfud?” tanya Andre seraya melihat ke luar ke arah rumah Abah Dasri yg kedatangan beberapa orang warga.
“Oh, Mang Dimin dan Pak Dodon baru pulang rupanya. Hmm, Pak Mahfud, ya. Sosok itu kan belum tentu dia. Lagipula meski sering menampakkan diri, tidak ada seorang pun yg bisa melihat wajahnya,” tukas Pak Udhan. “Selain itu, tidak ada bukti kl sosok itu sebelumnya adalah orang yg tinggal di rumah di tanah terpencil itu.”
“Mungkin saja bapak benar. Semoga saja rumah itu aman-aman saja untuk ditempati. Kalau begitu saya mau pamit, pak. Saya akan ke Mang Dimin dahulu sebelum pulang,” kata Andre kemudian.
“Silahkan, Pak Mantri. Hati-hati di jalan,” tukas Pak Udhan.
Andre kemudian keluar dari rumah Pak Udhan untuk selanjutnya menuju rumah Abah Dasri di mana Mang Dimin dan Pak Dodon sedang terlibat perbincangan dengan Bu Dasri di teras dan Abah Dasri yg sedang berada di dalam rumah.
“Pak Mantri? Sudah selesai dengan Pak Udhan?” ujar Bu Dasri disambut anggukan Andre.
“Ini sudah gawat, Pak Mantri. Kalau Pak Mantri sudah melihat kejadian orang yg dibawa Demit Rawa, itu akan menjadi pertanda buruk. Pak Mantri tidak boleh tinggal sendiri di rumah itu,” kata Mang Dimin seraya menatap dengan mimik serius ke arah
Singkat cerita, Mang Dimin memutuskan untuk tinggal bersama Andre di rumah yg dianggap angker itu. Di mana rumah itu baru dua hari ditempati Andre.
Malam itu juga Mang Dimin telah berada di rumah itu bersama Andre. Sementara Andre merasa begitu penasaran dengan kekhawatiran Mang Dimin.
Ia pun lantas menanyakan hal itu kepada laki-laki tersebut.
“Mang Dimin sepertinya merasa khawatir sekali akan terjadi apa-apa terhadap saya. Sebenarnya apakah hal itu benar-benar akan terjadi, mang?” tanya Andre saat mereka berdua sedang di ruang tengah.
“Kemungkinannya cukup besar, Pak Mantri. Pak Mantri sendiri sudah melihat sendiri kan makhluk itu? Nah, karena itulah kemungkinannya cukup besar. Pak Mahfud juga mengalami hal yg pernah dialami oleh Pak Mantri. Ia pernah mengatakan kepada Abah Dasri bahwa ia melihat Nyai Aspi diseret makhluk itu ke dalam kegelapan,” kata Mang Dimin menjelaskan.
Andre tercenung.
“Mungkin kesalahannya adalah kenapa Pak Mahfud tidak menolong Nyai Aspi. Dan saya mengulangi kesalahan yg sama. Seharusnya saya bisa menolong Pak Kholil apapun yg terjadi,” ucapnya disambut gelengan kepala Mang Dimin.
“Tidak sesederhana itu, Pak Mantri. Meskipun Pak Mantri berusaha keras menolong Pak Kholil, tetap tidak akan bisa mencegah makhluk itu untuk membawanya. Kita tidak tahu sekuat apa makhluk itu. Yang jelas manusia tidak akan bisa melawannya,”
jelas Mang Dimin. “Dan lagi, Pak Mahfud sebenarnya sudah berusaha menolong Nyai Aspi. Tapi yg terjadi adalah ia gagal sehingga perempuan itu berhasil dibawa makhluk itu,” lanjutnya.
“Begitu ya, mang. Ternyata rumit juga. Ya, sudah, mang. Sebaiknya kita tidur. Apalagi besok saya harus ke alun-alun desa. Ada festival kuliner. Pastinya akan ada banyak makanan, mang,” kata Andre seraya memasuki kamarnya.
“Iya, banyak makanan tapi nggak gratis, Pak Mantri,” tukas Mang Dimin.
Singkat cerita. Malam tersebut berhasil dilewati tanpa kejadian aneh yg diperkirakan akan muncul.
Tibalah pagi hari, di mana Andre telah berada di alun-alun desa, di mana di sana telah berkumpul banyak orang. Sebagian di antara mereka sedang melakukan olahraga. Sebagian lagi sedang menyaksikan para pedagang yg sedang menggelar dagangannya.
Andre kemudian duduk di salah satu bangku alun-alun. Sembari duduk, ia memperhatikan orang-orang yg lewat.
“Pak Andre, sendirian saja, nih?” tegur seseorang dari belakang, membuat Andre menoleh.
“Seperti yg terlihat, mbak Sarnah. Apa kabar, mbak Sarnah?” ucap Andre seraya bersalaman dengan gadis cantik yg berpakaian modis itu.
“Kabar baik, Pak Andre. Sayangnya keuangan lagi kurang baik. Kalau Pak Andre sih pastinya keuangannya moncer terus,” tukas Sarnah seraya duduk di samping Andre.
Wangi parfum gadis itu tercium semerbak saat duduk di samping Andre. Apalagi duduknya agak menempel dengan Andre sehingga membuat laki-laki itu merasa risih.
“Festival kulinernya masih beberapa jam lagi, Pak Andre. Padahal Pak Andre sudah lapar, ya?” ujar Sarnah disambut kekehan Andre.
“Benar, mbak. Padahal saya sudah berkeliling mencari pedagang nasi uduk. Ternyata belum ada yg buka,” tukas Andre seraya melihat ke arah seorang gadis yg sedang memperhatikannya seolah tidak berkedip. “Umm, saya akan menemui dia dulu, mbak. Nggak apa-apa saya tinggal?” ucapnya kemudian.
“Kita bareng saja, Pak Andre. Memangnya Rahayu pacarnya Pak Andre?” tukas Sarnah seraya turut berdiri ketika Andre berdiri.
“Ya sudah, ayo,” ucap Andre seraya berjalan menuju Rahayu yg sedang bersama temannya.
“Pak Mantri ke sini juga?” ucap Rahayu seraya menatap ke arah Andre kemudian melihat ke arah Sarnah. “Mbak Sarnah sama Pak Andre pacaran, ya?” lanjutnya membuat Andre menggaruk kepala.
Sementara Sarnah berpura-pura mengiyakan.
“Umm, sepertinya begitu,” katanya.
Rahayu terlihat sedikit terkejut dengan jawaban gadis itu.
“Kami tidak pacaran, kok. Lagipula kan butuh waktu untuk saling mengenal. Kami saling kenal saja baru beberapa hari,” tukas Andre seraya menatap ke arah Rahayu.
“Oh, begitu, ya. Saya pikir kalian berdua pacaran.
Soalnya saya sempat melihat kalian duduk begitu dekat,” kata Rahayu membuat Andre dan Sarnah saling pandang sambil tersenyum.
Waktu beranjak dari pagi ke siang. Dari siang ke sore hari. Tidak terasa hari pun telah berganti malam.
Setelah selesai menyaksikan festival seharian tersebut, Andre pun pulang. Dengan menggunakan senter dari hapenya, ia menyoroti bagian jalan yg tidak terkena cahaya lampu jalan.
Sesampainya di rumah, Andre terkejut melihat seisi rumah dalam kondisi berantakan. Mang Dimin juga tidak ada di sana.
Yang lebih membuat ia kaget dan khawatir adalah adanya jejak berlumpur yg sebagiannya bahkan menempel di dinding.
“Mang Dimin? Mang Dimin?” Andre memanggil-manggil Mang Dimin namun tidak ada jawaban. “Celaka! Pasti Demit Rawa telah membawa Mang Dimin!”
Andre kemudian menelusuri jejak berlumpur yg dipastikan adalah milik Demit Rawa. Ia terus mengikuti jejak tersebut hingga semakin jauh dari rumahnya.