Cerita Horor Twitter : Russin – Catatan Si Juni Part1

Cerita Horor Twitter

Judul : Rusin – Catatan Si Juni

Penulis : @ItsQiana

CATATAN SI JUNI PART 1

Juni namanya, anak perempuan periang yang dipilih Tuhan untuk menjadi istriku. Namun nyatanya Tuhan lebih sayang kepadanya, hingga harus kurelakan ia meninggalkanku untuk berada di sisi-Nya.

Mari kuceritakan luka busuk yang ada di keluarga kami, keluarganya dahulu yang menjadi sumber derita bagi Juni kecil.

………

………

*Srek Srek Srek* Suara gesekan dari seikat sapu lidi yang beradu dengan paving halaman sebuah rumah terdengar nyaring hingga ke seberang jalan.

*Bug bug bug bug bug* Derap langkah beberapa anak disana pun menambah kebisingan di sore itu

“Aduuuuh, ibuk, Juni dawah buk” (Aduh ibuk, Juni jatoh buk) teriak seorang anak perempuan yang tampak menahan isak tangis dan ngilu pada luka di lututnya.

Sang ibu menengok kearah Juni, entah mengapa ia tersentak kaget. Matanya membelalak lebar seakan tengah melihat hantu di siang bolong.

Rupanya nampak sepotong tangan tengah memegangi pergelangan kaki Juni. Ya, tangan seorang anak kecil yang membiru dan putus hanya sampai siku.

Dalam sekejap, bayangan itu hilang dari pandangannya.

“Bulik mboten nopo nopo?” (Bulik gapapa?) tanya Febri, sahabat Juni “Lhaiyo toh Jun dadi bocah wadon kok pencilakan, yahmene kancane malah diajak blayon” (Jun Jun jadi anak perempuan kok gabisa diem, jam segini temennya. malah diajak lari larian) ucap perempuan yang dipanggil Ibu oleh si Juni.

Ibu Juni nampak berusaha terlihat baik baik saja “Gek ndang ngadeko Jun, aku tak bali yoh” (Cepet berdiri Jun, aku pulang ya) ujar Mei, tetangga Juni yang juga seumuran dengannya.

“Aku barang lah, pitikku gurung tak kombong” (Aku juga lah, ayam ayamku belum aku kandangin) sahut Febri yang menyusul pamit pada Juni Rumah mereka berdekatan, masih berada dalam satu gang dan kebetulan mereka semua seumuran serta sekolah ditempat yang sama.

“Bulik.. Kula mantuk riyen nggih” (Tante.. Saya pulang dulu ya) pamit mereka sambil berjalan menuju rumah masing masing Ibu Juni hanya mengangguk tak menjawab.

……..

Adzan maghrib telah berkumandang Dirumah Juni, hanya ada ia dan sang ibu. Kebetulan malam itu sampai dua hari kedepan ayahnya tidak ada dirumah karena harus berada di proyek. Ayah Juni adalah seorang mandor bangunan, dan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa.

Kini, Juni berusia 9 tahun. Pemikirannya mulai berkembang dan ia sering mempertanyakan banyak hal. “Buk, Bapak umur pinten?” (Buk, Bapak umur berapa?) tanya juni tiba tiba.

Ibunya mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Juni “59, nyapo takon takon umur barang?” (59, ngapain tanya tanya umur?) ibunya justru berbalik tanya.

“Lah Ibuk pinten? Kok ketingale tasik timur” (Lah Ibuk berapa? Kok keliatannya masih muda) tanya Juni kembali.

Memang jarak usia antara Bapak dan Ibu Juni terlihat sangat jauh. Ibu Juni baru berumur sekitar 32 tahunan saat itu.

Ia tidak menjawab, ia hanya melanjutkan kegiatannya dengan membisu. Juni yang merasa kesal karena menunggu lama namun tak kunjung mendapat jawaban akhirnya pun berhenti bertanya dan beranjak pergi ke kamarnya.

………

Dikamar, Juni merebahkan dirinya diatas ranjang empuk miliknya. Malam ini ia sedang malas belajar.

*Ckiiit ckiiit krieet* Decit lantai kayu membuyarkan lamunan Juni, ia segera duduk dan memeriksa bawah “Opo yo mau?” (Apaan ya tadi?) tanya Juni pada dirinya sendiri.

Kepalanya celingukan kekanan kekiri mencari asal suara tadi Ia melangkahkan kakinya menuruni ranjang *Kreeet kreet kreet* Sementara suara itu masih terdengar jelas, kini ia menemukan sumber bunyi itu.

Salah satu papan kayu yang menjadi lantai dikamarnya berdecit tiada henti serta menimbulkan getaran getaran kecil, seakan ada sesuatu yang mendorongnya dari bawah. *Tok Tok Tok* Tanpa rasa takut, Juni mengetuk papan itu.

*Krieeet*

Suara decit kayu itu terdengar lagi dari papan disebelahnya. Dan lagi lagi Juni mengetuknya. Hal itu terjadi pada hampir seluruh papan di dalam kamarnya. Bukannya curiga, Juni justru merasa seakan mendapat teman baru. Ia tersenyum sambil berlari larian memburu papan yang bergiliran berdecit itu.

……..

Pagi harinya, Juni menceritakan kejadian semalam pada sang Ibu, namun lagi lagi ibunya hanya diam dan menelan ludah dalam dalam.

……….

Sepulang sekolah, Juni mencari keberadaan ibunya. Namun ternyata Ibu Juni sedang tidak ada dirumah.

“Ah paling gek menyang arisan” (Ah mungkin lagi pergi arisan) gumam Juni Anak yang tengah merasa lapar itu segera menuju meja makan dan membuka tudung saji diatasnya.

Tak perlu waktu lama ia telah mengisi penuh piring ditangannya. Ia dengan lahap makan sendirian dirumah itu hingga pada beberapa suap terakhir giginya merasa seperti tengah menggigit sesuatu.

Ia memuntahkan yang sedang ia kunyah dalam mulutnya itu. Nampak potongan sebuah jari bayi berada disekitar nasi muntahannya. Juni yang masih merasa penasaran pun meraih benda itu untuk memastikan.

*Aaaaaaaaaaaa…..* Ia menjerit ketakutan lalu pingsan seketika.

……….

Juni : “Jun.. Tangio nduk, nduk tangi nduk” (Jun.. Bangun nak bangun)

Samar samar kudengar suara seseorang, suara itu terdengar berusaha membangunkanku. Kini telapak tangan dan kakiku pun mulai merasakan gosokan gosokan lembut yang mengenai permukaan kulitku.

Berat, badanku terasa berat sekali bahkan mataku sangatlah susah untuk dibuka. *Puk puk puk*

Tepukan ringan mendarat dipipi kecilku hingga akhirnya aku mulai tersadar. Mataku menangkap beberapa orang berada disekelilingku, mereka semua adalah tetanggaku.

Para orangtua, anak anak remaja mereka, tak luput pula kedua temanku Mei dan Febri yang terlihat menangis sesenggukan melihatku terbaring.

“Alhamdulillah pak bu bocahe tangi” (Alhamdulillah pak bu anaknya bangun) ucap ibu Mei yang duduk disebelah kiriku.

“Buk e wes teko gurung” (Ibunya udah dateng belom) tanya salah seorang warga.

“Durung i, ngendi leh jane ki” (Belom tuh, kemana sih sebenernya) kesal warga lain.

Dalam keadaan setengah sadar, aku mencoba mengingat ingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Saat ingatanku mulai pulih, seketika perutku terasa mual dan kumuntahkan seluruh isinya.

Ibu Mei yang terkejut segera memegangi tubuhku dan memijat mijat tengkukku.

“Lho lha Pak.. Piye iki bocahe soyo pucet ngene” (Loh Pak.. Gimana ini anaknya makin pucet gini) buru ibu Mei yang makin khawatir pada kondisiku.

Akhirnya akupun dibawa ke puskesmas oleh warga, kulihat diluar matahari mulai tenggelam. Jadi berapa lama aku tak sadarkan diri?.

………

Dokter disana hanya mengatakan bahwa aku kelelahan, jadi mereka segera membawaku pulang.

……….

Sesampainya dirumah, ternyata ibuku tak kunjung pulang. Ibu Mei pun membawaku untuk menginap dirumahnya, dia mengurusiku seperti anak perempuannya sendiri.

Entah apa yang dilakukan ibu diluar sana, mengapa ia tak pulang? Ibu pergi kemana bu?

………

Malam ini terasa sangat panjang untuk kulalui. Kulihat Mei telah tertidur pulas disebelahku, nampaknya ia kelelahan menangisiku sedari siang tadi.

Keheningan malam ini terasa berbeda, udara dingin menusuk tulang kurasakan begitu hebatnya. Untunglah ibu Mei memberiku selimut tebal yang kiranya cukup membalut tubuhku yang tak seberapa besar ini.

Baca Juga :  Cerita Horror Twitter : Sang Pejalan Malam

Perlahan mataku mulai terpejam, mimpi? Apakah saat ini aku benar benar sudah terlelap?

*Hihihihi..*

Suara tawa mengagetkanku Siapa? Siapa yang sedang bermain tengah malam begini? Suara itu, suara balita yang terdengar sedang asik tertawa riang.

Saat mulai terhanyut dalam mimpi, samar mulai kulihat seorang anak laki laki cacat tengah bermain dihadapanku.

Ya, anak yang bahkan terlihat baru berusia beberapa tahun dan tidak bisa berjalan normal karena cacat fisik bawaan.

Tangannya kecil sebelah dengan jari jari yang bengkok tak beraturan. Wajahnya terlihat normal, ia tampan dan terlihat familiar bagiku. Kakinya panjang sebelah dengan satu kaki yang putung.

Sungguh mengenaskan, entah mengapa melihatnya hatiku terasa amat sakit walaupun nyatanya ia terlihat sedang asyik bermain sendirian.

“Dek?” panggilku sembari lebih mendekat padanya Ia hanya menengok kearahku, menatap wajahku lalu tertawa kembali. “Ahihihihi”

Mengesot, ia berjalan dengan cara mengesot. Mendorong tubuhnya dengan satu kakinya yang normal dan menopang badannya dengan satu tangannya. Seakan mengisyaratkan padaku untuk mengikutinya, akupun melangkah keluar dari kamar Mei bersamanya.

Kulihat diluar rumah cahaya temaram menyinari. Bukankan ini sudah malam? Apakah ini masih sore? Atau jangan jangan ini sudah pagi? Entahlah.

Dia masih saja mengesot bahkan saat kami melewati jalan aspal dengan banyak kerikil kecil bertebaran, aku tak tega melihatnya. Kuangkat badan itu dengan setengah jijik, meskipun jijik namun naluriku ingin sekali membantunya.

Lagi lagi ia tertawa “Hi hi hi hi nono” Katanya sambil menunjuk kearah rumahku.

“Arep nyapo nang omahku?” (Mau ngapain kerumahku?) tanyaku padanya

Kini ia berada di pinggang kecilku, kurasakan badannya sama sekali tidak berat. Ternyata setelah kuperhatikan badan itu teramat kurus, banyak bekas luka pada punggungnya.

Akupun melangkah masuk ke halaman rumah, gelap, kenapa rumahku terlihat sangat gelap? Oh iya, ibu sedang tidak ada dirumah. Mungkin para tetangga lupa tidak menyalakan lampu dirumahku.

Aku melangkah masuk, namun tetiba getaran hebat terasa pada tubuhku. Seakan menolak masuk, seketika rasa takut teramat besar menyelimutiku. Tubuhku mematung, kini dadaku benar benar sesak, sama sekali tak bisa ku gerakkan sesuai kemauanku.

Bocah yang tadi berada di gendonganku mendadak lenyap, kini tinggal aku sendirian dirumahku ini.

*Oeeek oeeek oeeek*

Tangisan bayi, rumah ini kini sangat bising dipenuhi oleh tangisan bayi. Entah suara berapa saja anak hingga mampu membuat telingaku berdenyut pening mendengar suara tangisan yang sangat ramai itu.

Aku mulai menangis, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menangis. Aku ingin berontak, badanku meronta ingin bergerak bebas, namun lagi lagi aku tak bisa berkutik sedikitpun. 

Tangisku mulai memuncak sejadi jadinya, hingga…

“Juniii… Juni.. Tolooong tolong”

Terdengar suara teriakan membangunkanku serta goncangan pada tubuhku. Apa ini? Tubuhku lemas saat itu juga. Kesadaranku mulai menurun dan pandanganku gelap.

Aku membuka mata, kulihat lagi pemandangan yang mirip seperti siang tadi.

Mataku silau, terasa nyeri terkena cahaya lampu diatasku. Apakah aku barusan bangun? Bukannya tadi aku sedang berada dirumahku sendiri? Banyak sekali orang yang berkumpul disekelilingku, para ibu ibu menangis tersedu memandangiku, dan beberapa orang lain mengaji diluar kamar Mei.

Haha, ternyata aku hanya bermimpi.

Esok hari Mei menceritakan padaku bahwa semalam badanku mengejang tak karuan. Aku mengerang dengan sangat keras seperti seseorang yang tengah kesurupan.

Benarkah demikian? Jika memang iya, apa alasan mereka mengganggu hidupku? Apa salahku?

………

agi ini, ibu belum juga nampak pulang. Mau tak mau aku harus tinggal lebih lama dirumah Mei.

“Jun, Mei, mreneo nduk sarapan sek” (Jun, Mei, sini nak sarapan dulu) panggil bapak Mei pada kami berdua Kami yang tengah berada di halaman depan pun masuk kerumah untuk sarapan.

Hari ini aku dilarang ibu dan bapak Mei untuk bersekolah, jadi saat mei sekolah aku hanya seorang diri disini.

Bapak Mei adalah seorang perhutani, dan ibunya adalah seorang guru. Jadi tiada seorangpun dirumah saat siang hari.

Waktuku kuhabiskan untuk istirahat dan membereskan pekerjaan di rumah Mei. Meskipun tiada yang menyuruhku, dan pasti mereka akan melarangku jika tahu aku melakukannya tapi aku sangat ingin berusaha tidak merepotkan mereka.

Tak terasa terik matahari sudah mulai menyengat, tanda bahwa siang hari telah datang.

“Juuun.. Aku mau ngerti ibukmu” (Juuun.. Aku tadi lihat ibumu) teriak Mei yang berlari terengah engah menghampiriku.

“Kapan Me? Ngendi?” (Kapan Me? Dimana?) tanyaku antusian

“Mau ibukmu numpak becak Jun, lewat sekolahe awak dewek” (Tadi ibumu naik becak Jun, lewat sekolah kita) jelas Mei yang terlihat masih kelelahan akibat berlari.

Aku hanya diam, tak tahu apa yang harus kuucapkan saat itu. Kepalaku terasa kosong, apakah orangtuaku tak lagi mempedulikanku?

Tak kusangka perasaan menyakitkan muncul dalam dadaku, sesak, terasa begitu sesak hingga nafas hampir tak mampu kulakukan. Kutahan air mataku, semampuku kutahan rasa ingin menangis ini.

……….

Sore, kala aku dan Mei menunggu orangtua Mei pulang kerja tetiba sedan putih melewati jalanan depan rumah Mei.

“Bapak… ” gumamku “Mei.. Bapakku bali Mei” (Bapakku pulang Mei) ujarku pada Mei yang segera menarikku berdiri.

“Gek ndang age, ayo nomahmu” (Ayo buruan, ayo ke rumahmu!) buru Mei yang antusias.

Kami berdua pun segera berlari menuju rumahku. Terlihat Bapak baru saja turun dari mobilnya, ia celingukan menatap rumah yang sepi itu.

“Pakkk… ” panggilku yang segera memeluknya Ia terlihat senang melihatku yang kemudian menggendongku.

Mei mendekat kearah kami dan memberi salam pada Bapakku.

“Adek kok nganti yahmene isih dolan wae toh dik? Iki kenopo omahe kok tumben gak disapu Ibuk?” (Adek kok sampe jam segini masih main aja? Ini juga kenapa rumahnya tumben ga disapu sama Ibuk?) tanya Bapakku yang belum tahu apa apa.

Perasaan kecamuk kurasakan lagi, namun kini tangisku pecah. Bapak semakin bingung melihatku menangis.

“Budhe Septi mboten wonten Pakdhe, sampun kalih dinten niki Budhe mboten mantuk” (Budhe Septi tidak ada Pakdhe, sudah dua hari ini Budhe gak pulang)  ucap Mei tiba tiba yang mengejutkan Bapakku.

Ya, nama ibuku adalah Septiani. Dan Mei memanggil orangtuaku dengan sebutan “Dhe” tentu saja karena usia bapakku jauh lebih tua dari orangtuanya.

*Trengteng teng teng teng….*

Suara motor milik ayah Mei pun terdengar nyaring hingga kerumahku. Tandanya orangtua Mei telah pulang.

Bapakku segera berjalan menuju rumah Mei, ia meraih tangan Mei, menggandengnya dengan tangan kanan dan aku masih berada pada gendongan tangan kirinya.

Ya, meskipun sudah berumur namun Bapakku masih terlihat gagah dan awet muda, tenaganya pun masih sangat kuat.

………

Sesampainya dirumah Mei, ia menurunkanku dari gendongannya dan berjalan menghampiri orangtua Mei. Mereka menyambut tangan Bapakku dengan perasaan bersyukur.

Baca Juga :  Cerita Horor Twitter : Gending Alas Mayit

“Juni, Mei, mlebet kamar sik nggih nduk dolanan nok kamar” (Juni, Mei, masuk kamar dulu ya nak main dikamar) perintah Ayah Mei pada kami berdua, kami pun menurut.

Bapakku dan Ayah Mei terlihat duduk di teras dan sedang berbincang serius. Sedangkan Ibu Mei pergi ke dapur untuk membuatkan minum dan camilan.

Selang beberapa waktu terlihat Bapak Febri datang kemari, entah apa yang mereka bicarakan hingga berjam jam.

Akhirnya, Bapak masuk kedalam kamar Mei. Ia berpamitan padaku dan berjanji beberapa hari kedepan akan menjemputku kembali. 

“Sing manut ya nduk, gak pareng nakal” (Yang nurut ya nak, gak boleh nakal) pesannya padaku. Kelihatannya mereka sepakat untuk menitipkanku disini.

Bapakku pun kembali ke rumahku lalu kembali lagi ke rumah Mei dengan membawa banyak baju serta barang barangku. Ia hanya mengelus rambutku lalu pamit pada orangtua Mei dan Bapak Febri.

Lagi lagi terlihat mobil Bapakku melewati jalanan depan rumah Mei ini. Entah kemana ia akan pergi lagi.

………

Beberapa hari pun berlalu. Aku mulai terbiasa tinggal dirumah Mei, akupun sudah bersekolah seperti biasa. Setiap hari Febri memboncengku dengan sepedanya, sedangkan Mei mengayuh sepedanya sendiri.

“Feb? Gak kesel ta saben dino mboncengke aku terus?” (Feb? Gak capek apa tiap hari boncengin aku terus?) tanyaku padanya.

“Gak, mulane ndang gede mengko gantian aku goncekke”. (Gak, makanya cepet besar biar nanti gantian aku kamu boncengin) jawab Febri sambil tersenyum.

Kemanapun aku pergi, kedua temanku itu selalu menjagaku. Kami selalu bertiga, bersama sama entah itu dirumah atau disekolah kami selalu bertiga.

………

Ayahku kembali, namun kali ini dia bersama seseorang.

“Ibuk… ” panggilku antusias, namun ternyata tak seperti dugaanku Perempuan itu bukan Ibu, ia tersenyum padaku dan memperkenalkan diri.

“Assalamualaikum dek.. Pasti kamu ya yang namanya Juni?” tanyanya. Aku hanya mengangguk tanpa berkedip. Ia kembali tersenyum dan mengelus rambutku.

“Mbak namanya Desi, mulai sekarang mbak yang bakal jagain kamu” terangnya padaku.

Ternyata Ayah membawa seorang pengasuh untukku Ia mengobrol untuk beberapa saat dengan tuan rumah lalu mengajakku untuk berpamitan.

Jadi, apakah sekarang adalah waktunya aku berpisah dengan kawan kawan?

Mei menangis mendahuluiku, ia menarik tanganku dan menyeretku kerumah Febri. Febri yang tengah bermain kelereng segera menghampiri kami.

Ia pun ikut menangis sesenggukan melihat Mei menangis walaupun belum tahu alasan Mei menangis.

Tangisku pun ikut pecah, kami bertiga menangis hingga Ibu Mei menyusul kemari. Ia mengatakan bahwa Bapakku akan segera mengajakku berangkat jadi kami harus kembali kesana. Akhirnya, kami bertiga pun berpisah.

……….

Di dalam mobil, aku tak tahu hendak dibawa kemanakah aku. Pikiranku bercampur aduk. Mbak Desi mencoba menenangkanku, ia mengusap usap punggungku sambil mengatakan bahwa semua baik baik saja.

Kini, tibalah kami di satu rumah yang asing bagiku. Rumah siapa ini? Kami turun dari mobil dan Bapak menggandengku masuk.

*Praaaang* Suara suatu benda yang pecah menghantam dinding mengejutkanku.

“Wani wanine koe mas ngajak anakan lonte iku mrene?” (Berani beraninya kamu mas ngajak anak perempuan jalang itu kemari?) teriak seorang perempuan paruh baya dari dalam rumah Anak perempuan jalang? Apa maksutnya itu?

“Des, ajaken Juni noi kamare” (Des, ajak Juni ke kamarnya) perintah Bapak yang segera diiyakan oleh Mbak Desi.

“Nggih Pak” jawabnya.

Setibanya di kamar, suara pertengkaran Bapakku dan perempuan itu masih terdengar jelas dan sangat keras hingga ke kamarku.

Aku yang ketakutan hanya meringkuk di dalam dekapan Mbak Desi Banyak hal yang kudengar dari pertengkaran mereka, meskipun aku baru berusia sembilan tahun, kini aku mulai memahami semuanya.

Ternyata perempuan itu adalah istri pertama Bapak. Sedang Ibu, ia hanya istri simpanan Bapak. Aku tahu pasti, kehadiranku sangat tidak diinginkan oleh keluarga mereka.

Kini aku pun tahu alasan Bapak jarang pulang kerumah Ibu bukan karena ia sedang berada di proyek bangunan seperti yang kutahu selama ini, melainkan ia harus berada disini, dirunah istri pertamanya yang lebih berhak atas dirinya.

Bapak bukan pula seorang mandor bangunan, nyatanya ia adalah seorang pengusaha kaya raya di daerah kami.

………

Mentari telah terbit, cahayanya terlihat menembus tirai jendela kamar yang masih terasa asing bagiku ini.

Mbak Desi telah tiada disebelahku, aku pun beranjak menuju kamar mandi. Dikaca, kulihat mataku membengkak karena menangis semalaman .

Aku membasuh mukaku dengan air lalu berjalan keluar kamar untuk mencari Bapak. Namun ditengah perjalanan aku bertemu dengan seorang perempuan muda, mungkin ia baru berusia dua puluh tahunan.

Ia tersenyum padaku dan menghampiriku. “Juni toh?” tanyanya. Aku mengangguk ketakutan, aku takut akan ada seseorang yang mengamuk seperti semalam ketika melihatku.

“Aku Novi, ojo wedi ya nduk aku mbakyu mu” (Aku Novi, jangan takut ya dek aku kakak perempuanmu) jelasnya. Kakak perempuanku? 

“Awakmu lesu ya mesti, ayo mrene sarapan disik” (Kamu laper ya pasti, ayo sarapan dulu) ujarnya padaku.

Aku pun duduk dengannya di meja makan yang berada di dapur. Diatasnya sudah tertata rapi banyak makanan, namun kemana semua orang?

Ia mengambil satu piring dan mengisinya dengan berbagai lauk dan nasi, ia menaruhnya dihadapanku.

“Maemo” (Makanlah) perintahnya Akupun segera memakannya sampai habis, lalu ia pun mengajakku berkeliling.

Sampailah kami di taman belakang rumah, kulihat Bapak ada disana, ia tengah membaca koran dan meminum kopi dari cangkir disampingnya.

“Bapak… “

Ia nampak menengok ke arahku, senyum cerah mengambang disudut bibirnya. Akupun berlari mendekat.

“Pak, Juni pengen mantuk” (Pak, Juni pengen pulang) keluhku pada Bapak yang memelukku hangat. Ia mengendurkan rangkulannya, seraya menatapku dan berkata.

“Ini kan ya rumahe Juni, ada Bapak ada Mbak Novi” jawabnya “Tapi Juni kangen Ibuk Pak” tegasku pada Bapak yang seperti menghalangiku untuk bertemu Ibu.

“Bapak arep mangkat kerja sek ya nduk”

(Bapak mau berangkat kerja dulu ya nak) ujarnya tanpa sepatah kata pun menjawab keluhanku Aku berlari ke arah kamarku dan menangis disana, aku kangen ibuk, Juni kangen ibuk…

……..

………

Beberapa bulan ku lalui disini dengan sangat berat hati. Sekolahku dipindahkan kemari, hari hariku terasa menguras emosi.

Ibu tiriku masih saja memperlakukanku seperti bukan anak manusia, ia selalu mengumpat dan memaki tiap kali aku melakukan kesalahan. Ia pun acap kali memukulku bila Bapak dan Mbak Novi sedang tidak berada dirumah.

Hanya Mbak Desi lah satu satunya tempatku bersandar, ia pun sering menangisi nasibku, namun bagaimanapun ia tak dapat melawan nyonya rumah ini.

……….

Hingga suatu pagi, datang beberapa anggota polisi kerumah kami. Mereka mengabarkan sesuatu pada Bapak.

Entah apa yang mereka katakan hingga membuat bapak terkejut seketika. Badannya terlihat lemas hingga kakinya tak mampu lagi menopang beban diatasnya. Bapak ambruk dan sesak napas untuk beberapa saat sampai semua orang dirumah merasa panik.

Baca Juga :  Cerita Horor Twitter Gending Alas Mayit Part4 - Tabuh Waturingin

Bapak diangkat beberapa orang rumah dan direbahkan ke sofa  “Juni.. Juni.. Nak” panggil Bapak lirih.

“Dalem pak niki Juni pak” (Iya pak ini Juni pak) sahutku yang mulai menangis melihat Bapak Ia pun mencoba untuk duduk dan ikut menangis menatapku.

“Ibukmu ninggal nduk” ucapnya dengan berat hati.

Kini giliranku yang harus merasakan kejutan rasa sakit. Dadaku seperti tersengat oleh listrik secara spontan, aku masih tidak bisa mempercayainya namun hanya dengan mendengar kata itu perasaanku bagai kaca yang telah remuk hancur berkeping keping.

Di sisi lain ibu tiriku justru terawa terbahak bahak merasakan puas yang teramat sangat mengetahui hal ini. Ia kini merasa bahagia karena perempuan yang merebut suaminya telah pergi dan taakan kembali.

“Hoho wes mati toh? Yo apik lah sundel nyapo urip sue sue. Nek perlu koe pisan ndang nyusul bukmu nduk”

(Hoho udah mati ya? Ya bagus lah jalang ngapain hidup lama lama. Kalo perlu kamu sekalian ikut nyusul ibumu nak) ucapnya dengan semangat sembari mengelus rambut kepalaku.

Baru kali ini aku merasakan sentuhan halus ibu tiriku, sentuhan dengan rasa puas mendendam.

………

Kami semua pun segera pergi menuju tempat jenazah ibuku berada. Ternyata rumah Ibuk…

Terlihat banyak sekali warga dari seluruh penjuru desa mengerumuni rumah Ibuk. Gang yang sempit ini terisi oleh banyak manusia yang berebut melihat pemandangan tidak wajar disana.

Keluarga kami berjalan kearah rumah, telah terpasang garis polisi yang membentang panjang mengelilingi pagar dan halaman sekeliling rumah.

Bapak menggendongku, aku terus saja menangis tanpa henti. Kami langsung diijinkan masuk oleh para petugas.

Kulihat di dalam rumah jenazah ibuku tergantung tinggi dengan tali menjerat lehernya.Tali yang diikat kencang pada kerangka atap rumah ini, rumah yang menjadi tempat semua kenanganku bersama ibu berada.

“Bapak.. Ibuk pak Ibuk… “

“Ibuuukk.. Ampun ninggalke Juni Buk, Juni janji Juni mboten nakal malih Buk, tulungi ibukku tulung ibuk mesakke nok nduwur kono. Ibuk….”

(Ibuk.. Jangan tinggalin Juni Buk, Juni janji Juni gak nakal lagi Buk, tolongin ibu Juni om tolongin kasihan ibuk diatas sana. Ibuk… ) jeritku teriakku pada Ibuk dan semua orang yang ada disana.

Aku merasa emosi tak karuan mengapa mereka hanya melihat dan tak segera membantu ibu turun. Ibu pasti bisa dihidupkan, ibu pasti bisa diselamatkan kembali, pikirku kala itu.

Tubuh kecilku meronta menendang nendang Bapak. Ia hanya menangis dan sekuat tenaga mencoba menahan gerakku. Aku memukul mukuli badannya dan semakin berontak.

Kulihat para petugas dibantu beberapa warga mencoba menurunkan tubuh Ibu bersama sama. Mbak Desi masuk dan meraihku dari Bapak, ia menggendongku menuju keluar rumah dan pemandangan terakhir yang kulihat justru adalah kenangan terburukku akan sosok Ibuk.

Matanya melotot lebar dan mengarah keatas seakan hampir copot dan lidahnya menjulur panjang hingga melebihi dagunya sendiri. Sungguh tak pernah ku bayangkan nasib seperti ini akan terjadi dalam hidupku.

Proses pembersihan berlangsung sampai malam, dan mau tak mau kami melangsungkan takziah dirumah ini, ‘omah bekas kendat’ kata warga. Jam terus berdetik dan menunjukkan pukul tujuh malam. Aku masih sangat terpukul dan tak sanggup lagi melihat jenazah Ibuk.

Dikamarku sendiri, aku ditemani oleh Mbak Desi yang terus berusaha membujukku untuk makan.

“Jun, kamu kalo gak maem nanti sakit” ucapnya yang duduk disampingku dengan mata iba.

“Juni pengen Ibuk” tegasku Akhirnya ia menyerah dan memilih diam membiarkanku.

*Cklek.. Kreeet* suara pintu kamarku dibuka.

Kulempar pandangan kearahnya, Ibu Mei. Ibu Mei berjalan kemari dan mengajakku untuk tidur dirumahnya bersama Mei, ia nampak berbicara dengan berusaha mempertahankan nadanya yang mulai bergetar karena tangis.

“Nduk Jun, bobok wene Bulik nggih kalih Mei” (Nak Juni, tidur dirumah Tante ya sama Mei) ajaknya membujuk.

“Mboten. Juni pengen Ibuk” tolakku tanpa basa basi Akhirnya Ibu Mei keluar, ia tak mau memaksaku.

………

Yasinan dimulai, kudengar suaranya jelas menyebar ke segala arah. Aku mengintip sejenak untuk melihat keadaan luar, tampak puluhan orang sedang mengaji disana.

Mbak Novi pun terlihat duduk diantara mereka, ia mengaji bersama. Sedangkan Bapak, entah dimana gerangan.

Tetiba…  *Hi hi hi hi…* Tawa seorang bocah. Siapa yang justru tertawa pada saat seperti ini?

Aku membalikkan badan, Mbak Desi tak bergeser sedikitpun dari posisinya sedari awal tidur tadi, ia terlihat pulas.

*Hi hi hi hi… * Terdengar lagi, kini lebih jelas.

Aku memutari ranjang, mencari ke semua tempat di kamar ini. Tak kutemukan siapapun disana hingga bau busuk mulai menusuk hidungku.

“Opo se ambune sek koyo mengene” (Apasih baunya ko sampe kaya gini) gumamku sendiri Aku mencari darimana bau itu berasal.

Namun bau bau ini tercium dari segala arah. Baunya benar benar menyebar memenuhi seisi kamar.

Tampak bercak merah aliran darah berasal dari bawah ranjangku, karena merasa sangat penasaran tanpa pikir panjang akupun berjalan kearah meja dan mengambil senter diatasnya, lalu langkahku kuarahkan ke ranjang itu.

Aku menunduk sampai dadaku menyentuh lantai. Kunyalakan senter yang dalam genggamanku dan kuarahkan kebawah sana.

Bau! Sangat sangat bau! Apa itu?!  Mataku mulai terfokus pada banyak gumpalan gumpalan yang terlihat seperti daging berceceran memenuhi bawah ranjangku itu.

Daging berlumuran darah yang mulai membusuk. Darahnya sangat banyak hingga mampu mengalir membasahi lantai.

Kamarku berlantaikan kayu, rumah ini adalah rumah lama yang turun temurun diwariskan oleh leluhur ibu, kata ibu.

Aku yang benar benar terkejut seketika beringsut mundur, menarik tubuhku kebelakang dengan cepat hingga tak sengaja punggungku menabrak lemari bajuku. Lemari kayu besar setinggi dua meter dengan empat pintu yang terlihat sangat gagah meskipun sudah tua.

*Nuni Nuni Hehehe* (Juni Juni Hehehe) belum kelar jantungku beristirahat kini kembali dikejutkan oleh suara yang tertangkap pendengaranku.

Aku bersimpuh ketakutan didepan lemari itu. Badanku berkeringat dingin, aku memberanikan diri untuk mendongak keatas dimana suara itu berasal.

Ketika kepalaku telah mendongak sempurna, kulihat bayangan seseorang. Dia! Bukankah dia anak yang waktu itu muncul dalam mimpiku? Anak yang penuh cacat.

Dia menyeringai menatapku dari atas lemari. Matanya terlihat hitam gelap dan senyumnya sungguh membuatku gemetar hebat.

Badanku mengejang hingga menimbulkan bunyi gemertak pada lantai kayu di bawahku ini.

Kepalaku tak dapat kugerakkan sesuka hati, mataku tak dapat kupejamkan bahkan untuk menelan ludahku sendiripun tak mampu. Aku seperti dibuat mematung.

Anak itu terlihat bergerak dari tempatnya, ia menarik kepalanya dan melompat dari atas sana ke pangkuanku secara tiba tiba hingga akhirnya aku bisa berteriak.

*Aaaaaaaaa…*

Teriakku sangat kencang tanpa sengaja sebelum badanku melemas dan tiba tiba pandanganku menjadi gelap.

………

Lanjut ke Cerita Horor Twitter ; Rusin Part 2 >>> Cerita Horor Rusin – Catatan Si Juni Part 2