Verbal Repertoire Dalam Hubungannya Dengan Masyarakat

Pengertian Masyarakat Tutur

Image by Gerd Altmann from Pixabay

Kalau suatu kelompok orang atau suatu masyarakat mempunyai verbal repertoir yang relatif sama serta mereka mempunyai penilaian yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakan di dalam masyarakat itu, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok orang itu atau masyarakat itu adalah sebuah masyarakat tutur (Inggris: Speech Community). Jadi masyarakat tutur  itu bukan hanya sekelompok orang yang menggunakan bahasa yang sama, melainkan kelompok orang yang mempunyai norma yang sama dalm menggunakan bentuk-bentuk bahasa. Satu hal lagi yang patut di catat, untuk dapat disebut satu masyarakat tutur adalah adanya perasaan di antara penuturnya, bahwa mereka merasa menggunakan tutur yang sama (Lihat Djokokentjono 1982). 

Dengan konsep adanya perasaan menggunakan tutur yang sama ini, maka dua buah dialek yang secara linguistik merupakan satu bahasa dianggap menjadi dua bahasa dari dua masyarakat tutur yang berbeda. Misalnya, bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia, yang masing-masing oleh para penuturnya dianggap dua bahasa yang berbeda.[1]

Sementara menurut pendapat lain bahwa :

  يعد مصطلح الجامعة الكلامية من المصطلحات شائعة الاستخدام في علم اللغة الاجتماعي, وهو مصطلح يستخدم للدلالة على جماعة من الناس تستعمل لغة واحدة للتفاهم بين افرادها. ويستخدم مصطلح الجماعة اللغوية ينفس المعنى أيضا. فلو استطعنا القيام بتحديد الجماعة الكلامية لأمكننا القيام بدراستها. ومن الممكن أن نجد اختلافات هامة بين الجماعة, وعادة تتلازم هذه الاختلافات مع الاختلافات اللغوية. ورأى جون ليونز كما نقل عنه هدسون أن الجماعة الكلامية هي كل الناس يستخدمون لغة (أو لهجة) بعينه.[2]


“Istilah masyarakat tutur adalah istilah yang umum digunakan dalam sosiolinguistik, istilah yang digunakan untuk menunjukkan sekelompok orang yang menggunakan satu bahasa untuk saling memahami di antara anggotanya. Istilah masyarakat bahasa menggunakan makna yang sama. Jika kita bisa mengidentifikasi kelompok kata-kata yang bisa kita pelajari. Hal ini dimungkinkan untuk menemukan perbedaan yang signifikan antara kelompok, dan perbedaan ini biasanya bertepatan dengan perbedaan bahasa. John Lions, seperti dikutip Hudson, mengemukakan bahwa kata masyarakat tutur adalah semua orang yang menggunakan bahasa tertentu (atau nada)”.
Baca Juga :  Faktor Faktor Penyebab Punahnya Bahasa Daerah di Indonesia


Namun jika kita mengingat mata kuliah linguistik tahun lalu, maka kita mendapatkan dua istilah yang hampir sama, yaitu masyarakat bahasa dengan masyarakat tutur. Dijelaskan di dalam buku linguistik umum karya Abdul Chaer yang dimaksud dengan masyarakat bahasa adalah, sekelompok orang yang merasa menggunakan bahasa yang sama. Dengan demikian kalau ada sekelompok orang yang merasa sama-sama menggunakan bahasa Sunda, maka bisa dikatakan mereka adalah masyarakat bahasa sunda.[3]


Maka bisa diambil kesimpulan bagi pemakalah bahwa masyarakat tutur juga berarti masyarakat bahasa, dan masyarakat bahasa belum tentu disebut dengan masyarakat tutur. Sebagai contoh, masyarakat kudus menggunakan bahasa jawa dalam berkomunikasi sehari-hari, jadi masyarakat kudus disebut sebagai masyarakat tutur bahasa jawa. Akan tetapi masyarakat kudus juga mengerti dan menguasai bahasa indonesia, hanya saja masyarakat kudus tidak menggunakan bahasa indonesia dalam berkomunikasi sehari-hari, jadi masyarakat kudus tidak bisa disebut sebagai masyarakat tutur bahasa indonesia.


Addul Chaer dan Leoni Agustina memberikan contoh dalam bukunya Sosiolinguistik Perkenalawan Awal tentang masyarakat tutur berikut ini; setiap hari tenaga kerja yang berasal dari berbagai daerah dan berbagai bahasa daerah yang berbeda-beda, bekerja di sebuah pabrik di Jakarta dan di sekitar Jakarta, dan mereka sesama rekan sekerjanya menggunakan bahasa indonesia dalam berinteraksi. Jadi, meskipun mereka berbahasa ibu yang berbeda, mereka adalah pendukung masyarakat tutur bahasa indonesia. Dalam hal ini memang tidak terlepas dari fungsi ganda bahasa indonesia: sebagai bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa persatuan.

Pengertian Verbal Repertoire dan Hubungannya Dengan Masyarakat

Image by Merio from Pixabay

Dari keterangan-keterangan di atas kita tahu bahwa Ferdinan De Saussure membedakan antara langue dan parole, membedakan antara bahasa sebagai sistem, sebagai alat komunikasi yang masih bersifat abstrak dengan bahasa sebagai bentuk nyata dari bahasa sebaiagi alat komunikasi, atau kita sebut dengan tutur.
Baca Juga :  Macam Macam Singkatan dan Akronim dan Kaidah Penulisan


Dari tindak tutur inilah munculnya ragam bahasa atau variasi bahasa, baik secara fonologi ataupun morfologi, yang pada nantinya akan dikenal dengan ragam diolek dan ragam idiolek. Sebagai contoh, bahasa jawa masyarakat kudus dengan bahasa jawa masyarakat jepara memiliki perbedaan, perbedaan itu deisebut dengan diolek. Masyarakat kudus dalam mengungkapkan “ini punyamu” dalam bahasa jawa diungkapkan dengan ‘iki genem’, sedangkan masyarakat jepara mengungkapkannya dengan ‘iki gonamu’. Masyarakat wonogiri dalam mengungkapkan “ mau kemana ndre” dalam bahasa jawa diungkapkan dengan ‘ arep nyang ndi ta ndre’, sedangkan orang kudus mengungkapkanya ‘ape rindi dre’ meski dengan dialek yang berbeda jika ketiga masyarakat tersebut dapat saling memahami dan saling mengerti ketika berbicara, maka kemampuan tersebut disebut Verbal Repertoire.


Definisi Verbal Repertoire tidak hanya sampai disitu saja, secara istilah Verbal Reperotire adalah kemampuan berbahasa sesuai dengan konteks dan situasi beserta ragam-ragam bahasa yang dimiliki atau dikuasai oleh penutur.


Pakar lain, Chomsky, tokoh tata bahasa generatif transformasi, menyebutkan adanya kompetens (Inggris: competence) disamping performans (Inggris: performance). Yang dimaksud dengan kompetens adalah kemampuan, yakni pengetahuan yang dimiliki pemakai bahasa mengenai bahasanya. Sedangkan performans adalah perbuatan berbahasa atau pemakaian bahasa itu sendiri dalam keadaan yang sebenarnya di dalam masyarakat. 

Haaliday, tokoh linguistik sistemik, tidak secara eksplisit membedakan bahasa sebagai sistem dan bahasa (tuturan) sebagai keterampilan. Dia hanya menyebut adanya kemampuan komunikatif (Inggris: Communicative Competence), yang kira-kira merupakan perpaduan atau gabungan antara kedua pengertian itu. Yang dimaksud dengan kemampuan komunikatif adalah kemampuan bertutur atau kemampuan untuk menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan situasi serta norma-norma penggunaan bahasa dengan konteks situasi dan konteks sosialnya (Halliday1972:269-293).[4]
Baca Juga :  Perubahan Fonologi dan Morfologi Bahasa Indonesia


Maka bisa disimpulkan bahwa istilah Verbal Repertoire dapat dipandankan dengan Kemampuan Komunikatif. Untuk bisa dikatakan bahwa seseorang mempunyai kemampuan komunikatif, sesorang itu haruslah bisa membedakan kalimat yang gramatikal dan yang tidak gramatikal, serta mempunyai kemampuan untuk memilih bentu-bentuk bahasa yang sesuai dengan situasi dan kondisinya.


Sebagai contoh, berikut percakapan anatara dua penutur bahasa jawa:

Maza : arep nyang ndi mbah?

Mbah Zuha : arep nang sawah nang tunggu manuk.


Mendengar jawaban Mbah Zuha tersebut, maza malah kebingungan, untuk apa dia pergi ke sawah menunggu manuk. Dari ketidakfahaman atau ketidaktahuan Maza tentang penggunaan kata “tunggu” yang artinya bisa berubah sesuai konteks ini, maka ada keterbatasan tentang verbal repertoirnya. Karena kata “tunggu” pada percakapan diatas maknanya berubah menjadi “menjaga sawah dari datangnya burung-burung yang ingin memakan padi”.



[1] Op. Cit., hlm. 36.

[2] . محمد عفيف الدين دميلطى, محاضرة في علم اللغة الاجتماعى, سورابايا: مطبعة دار العلوم اللغوية, 2010, ص. 31.

[3] Abdul Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: Renika Cipta, 2014, hlm. 60.

[4] Abdul Chaer dan Leonie Agustina, Op. Cit., hlm. 34.